Cerita Pendek Remaja Islami | Mana Duluan?
Mana Duluan?
Penulis: Umi Masyuroh
Kepala gadis bercepol dua itu terangkat, menatap bingkai pintu yang sedikit bergerak. Suara sibuk diluar menarik matanya untuk menyipit lagi, mempertajam telinga.
“Assalamu... aaa,” tubuh ceking si bungsu menyembul separuh, tapi balik lagi keluar dan sepertinya menarik nafas dulu, baru kemudian.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Lantang dan kencang sekali. Sekarang gadis itu benar-benar melipat buku di depan wajah dan lebih memilih menatap si adik yang sudah keburu melesat ke dalam kamar mandi. Sepertinya sangat kebelet.
Biasanya sepulang sekolah, tangannya selalu disambar si Arai untuk dicium. Sekedar mengelap keringat yang lengket atau memang tradisi orang rumah yang selalu menghormati yang lebih tua. Tapi, ini sudah beberapa menit cuping hidungnya belum mau juga keluar.
“Aahhh,,, lega kak.” Tubuhnya tiba-tiba sudah di samping gadis itu, meraih air dingin dari kulkas dan membuangnya kasar ke dalam mulut.
Mata gadis itu masih tajam menelisik tubuh kecilnya yang masih berseragam merah putih dan duduk manis menghabiskan minumannya.
“Tadi,,,” telunjuk gadis itu mengarah pada bingkai pintu di depannya, melewati hidung Arai yang ikut mengarah ke sana, “ kenapa salamnya ragu-ragu yang pertama.” Keningnya sedikit berlipat, kemudian segera ber-o- panjang dan berlari kecil ke arah pintu. Memberikan contoh sekaligus menjelaskannya.
“Arai salah masuk kak.” Jawabnya pendek.
“Salah apanya?” sekarang wajah gadis itu yang terlihat sedikit bingung.
“He-em, kakinya. Harusnya kanan dulu kan, tapi saking gak tahan jadi yang kiri.” Wajah polosnya cengengesan tanpa dosa.
“Apa bedanya sich, Rai? Kalau pasti masuk rumah aja.”
Pernyataan gadis itu membuat si Arai menggeleng, tubuh kecilnya segera mendekat. Menatap wajah si kakak yang masih santai menanggapi kalimatnya tadi.
“Apa bedanya sich, Rai? Kalau pasti masuk rumah aja.”
Pernyataan gadis itu membuat si Arai menggeleng, tubuh kecilnya segera mendekat. Menatap wajah si kakak yang masih santai menanggapi kalimatnya tadi.
“Kak Bintang, gak pernah diajarin sama kakek Hasan ya. Kalau kaki kanan itu dipake untuk ke tempat yang baik-baik. Dan kaki kiri untuk ke tempat kotor dan jelek. Rumah itu tempat baik, jadi harus pakai kaki kanan masuknya.”
Kepala gadis itu mengangguk. Pelajaran dasar mengaji mereka dulu pasti memang tentang adap dan tingkah laku yang boleh dan tidak boleh, ketika masih seusia Arai dan sekarang dia sudah di pendidikan SMA. Sudah lama sekali, jadi pantas dia sedikit lupa tentang pelajaran mengaji masa kecilnya.
“Terus hubungannya sama salam itu kenapa? Hem..”
Sebenarnya dia memang lupa-lupa ingat tentang pelajaran mengajinya dulu ketika masih duduk di bangku SD. Menurutnya biasa-biasan saja kalau dia datang dan pulang tanpa mengucapkan salam bahkan memperhatikan langkah kaki mana yang lebih dulu. Asal sampai dengan selamat. Tapi si kecil Arai selalu menceramahinya dengan ilmu agama yang ia dapatkan dari kakek Hasan, atau guru agamanya di sekolah.
Selalu sederhana sesuai dengan bahasanya yang masih terbata, namun tetap saja setiap hari ada saja pelajaran yang selalu menggelitik hati seorang Bintang. Seperti siang ini.
“Dari pagi perut Arai mules kak. Mungkin karena kekenyangan tadi pagi, gara-gara sarapan kakak. Aku hari ini bolak-balik kamar mandi terus loh.”
Gadis itu terbahak, menatap wajah tirus di depannya itu. Bersemangat menceritakan kisah perut mulesnya yang diare, gara-gara nasi semalam yang dia sulap menjadi nasi goreng. Dan si Arai paling lahap menghabiskan sarapannya.
Si Arai bungsu yang paling manja dengan mama dan satunya-satunya bercita-cita mejadi seorang ustadz seperti kakek Hasan. Masuk pondokan selesai tamat SD menjadi planing terbesarnya setelah mama memasukkannya mengaji beberapa bulan yang lalu.
Kepala gadis itu mengangguk. Pelajaran dasar mengaji mereka dulu pasti memang tentang adap dan tingkah laku yang boleh dan tidak boleh, ketika masih seusia Arai dan sekarang dia sudah di pendidikan SMA. Sudah lama sekali, jadi pantas dia sedikit lupa tentang pelajaran mengaji masa kecilnya.
“Terus hubungannya sama salam itu kenapa? Hem..”
Sebenarnya dia memang lupa-lupa ingat tentang pelajaran mengajinya dulu ketika masih duduk di bangku SD. Menurutnya biasa-biasan saja kalau dia datang dan pulang tanpa mengucapkan salam bahkan memperhatikan langkah kaki mana yang lebih dulu. Asal sampai dengan selamat. Tapi si kecil Arai selalu menceramahinya dengan ilmu agama yang ia dapatkan dari kakek Hasan, atau guru agamanya di sekolah.
Selalu sederhana sesuai dengan bahasanya yang masih terbata, namun tetap saja setiap hari ada saja pelajaran yang selalu menggelitik hati seorang Bintang. Seperti siang ini.
“Dari pagi perut Arai mules kak. Mungkin karena kekenyangan tadi pagi, gara-gara sarapan kakak. Aku hari ini bolak-balik kamar mandi terus loh.”
Gadis itu terbahak, menatap wajah tirus di depannya itu. Bersemangat menceritakan kisah perut mulesnya yang diare, gara-gara nasi semalam yang dia sulap menjadi nasi goreng. Dan si Arai paling lahap menghabiskan sarapannya.
Si Arai bungsu yang paling manja dengan mama dan satunya-satunya bercita-cita mejadi seorang ustadz seperti kakek Hasan. Masuk pondokan selesai tamat SD menjadi planing terbesarnya setelah mama memasukkannya mengaji beberapa bulan yang lalu.
Dan sejak kemarin dan sampai saat ini selalu ramai menanyakan kabar kain yang kapan akan nangkring di atas kepala Bintang.
“Nanti aja, Arai. Kakak belum dapet hidayah?” gadis itu sekenanya menjawab, menyisahkan pertanyaan yang mendalam bagi si bontot yang masih belum mengerti.
Gadis itu menunggu, kalimat sederhana apa lagi yang mampu membuatnya takjub memiliki adik sepertinya.
“Kak,” senggolan kecilnya membuat kepala Bintang memutar, menatap manik mata polosnya yang menari-nari.
“Nanti aja, Arai. Kakak belum dapet hidayah?” gadis itu sekenanya menjawab, menyisahkan pertanyaan yang mendalam bagi si bontot yang masih belum mengerti.
Gadis itu menunggu, kalimat sederhana apa lagi yang mampu membuatnya takjub memiliki adik sepertinya.
“Kak,” senggolan kecilnya membuat kepala Bintang memutar, menatap manik mata polosnya yang menari-nari.
“Hidayah itu arisan ya?” Gubrak...