Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Pendek tentang Ibu | Wanita Itu, Ibuku

Wanita Itu Ibuku
Karya: Dina Uswatun Hasanah

Ibu. Bagaimana kabar Ibu saat ini? Tahukah Ibu, aku selalu merindukanmu. Wanita tegar yang selalu jadi inspirasiku.

Sudah lama, kita tidak duduk berdua di teras rumah. Tidak lagi diajarkan memasak. Tak ada yang menyuruhku membeli gula di warung pinggir jalan sana. Sudah lama juga, tidak ada yang mendongeng kisah orang-orang terdahulu yang selalu menghantar tidurku. Hingga kini, aku sangat mengharapkan hal itu terjadi, Bu. Sebab kerinduanku padamu yang entah tak terhitung lagi.

Aku selalu ingat, saat ibu menasihatiku agar tidak jajan sembarangan. Tapi, aku selalu bandel dan lagi-lagi aku harus merepotkan ibu saat perutku terasa mulas. Aku juga masih ingat, bagaimana ibu membelai rambutku saat hari pembagian raport. Saat itu aku kecewa, karena tidak bisa mendapatkan sepuluh besar di kelas. Ibu lah orang yang selalu ada di sampingku, mengingatkanku untuk berusaha lebih giat lagi agar nilaiku bagus di semester depan.

Sekarang, ibu tidak lagi di sampingku. Tidak lagi bersamaku melewati hari-hari yang kian terasa melelahkan. Ibu…aku rindu.

***

Sepuluh  tahun lalu, aku melihat ada banyak orang datang ke rumah kita bu. Tiba-tiba, mereka membawa ibu pergi. Ibu menangis, ya aku melihatnya. Saat itu, aku juga menangis bu. Tidak tahu kenapa, tapi saat melihat ibu menangis, sakit sekali rasanya.

Aku mendengar, orang-orang yang datang ke rumah itu mengatakan ibu pembunuh. Setahuku, pembunuh itu adalah orang jahat. Maaf bu, bukan maksudku mengatai ibu orang jahat. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka bicara seperti itu.

Sejak saat itu, aku tinggal bersama nenek bu. Nenek juga tidak pernah memberitahuku tentang keberadaan ibu. Kini, putri semata wayang ibu telah tumbuh dewasa. Dan kini, ia juga mulai mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.

Aku marah bu, marah saat mengetahui semuanya. Bukan, bukan pada ibu. Tapi, pada orang-orang yang dulu pernah datang ke rumah kita dan membawa ibu pergi. Aku marah pada orang-orang yang dulu berkata bahwa ibu pembunuh. Apa mereka sudah gila, bu? Ibu sangat mencintai ayah, bukan? Bagaimana mungkin, orang-orang itu mengatakan bahwa ibu telah membuhuh ayah?

Ibu sangat cinta ayah, aku tahu itu. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, setiap hari ibu merawat ayah dengan sabar. Saat itu, ayah sakit-sakitan. Ibu, orang yang selalu setia di samping ayah. Tapi entah kenapa, hari itu ayah berbeda. Ayah berteriak dan mengamuk seperti orang kesakitan, ibu berusaha menenangkan. Tiba-tiba saja, pisau di tangan ibu, yang baru saja ibu gunakan untuk mengupas buah untuk ayah, terjatuh dan mengenai tubuh ayah.

Seketika itu juga, aku melihat tubuh ayah berlumuran darah. Ibu mematung, tidak bisa berkata apa-apa, aku melihat mata ibu berkaca-kaca. Bukan, bukan ibu yang melakukannya. Sudah kukatakan, ibu hanya berusaha menenangkan ayah yang tiba-tiba mengamuk.

Lalu, orang-orang itu mengira bahwa ibu adalah pembunuh. Tidak, ibu tidak melakukannya. Andaikan ada orang yang mau mendengar penjelasanku saat itu, bu. Tapi siapa? siapa yang mau mendengar omongan gadis kecil berusia 9 tahun sepertiku? Mereka mengabaikanku, mereka tidak memikirkan bagaimana sakitnya aku saat mereka sebut ibu sebagai pembunuh. Padahal, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Ibuku tidak melakukannya.

***

Bu, sudah bertahun-tahun lamanya kita terpisah. Bahkan, aku baru melihat wajah ibu lagi, dua hari yang lalu. Aku tidak kuat bu, tidak kuat melihat ibu di dalam jeruji seperti itu. Mengenakan pakaian tahanan, tidur hanya beralaskan tikar. Bu, aku melihat dan merasakan tetesan-tetesan bening yang luruh di sudut mata ibu. Membasahi wajah tua ibu yang kian mengering.

Bu, maafkan aku. Anakmu, yang tidak bisa menjelaskan apapun pada orang-orang itu. Tidak bisa menjelaskan, bahwa kau adalah wanita baik-baik dan bukan seperti yang mereka tuduhkan padamu. Maaf bu.

Aku ingat, pesan ibu dua hari lalu. Ibu menasihatiku agar tidak menyimpan dendam pada orang lain, sepertinya ibu tahu, bahwa putri  kecil ibu kini telah dewasa dan mengerti apa yang telah terjadi pada ibunya. Baik bu, apapun itu. Untuk ibu.

***

Bu, apapun yang mereka katakan. Aku tidak perduli. Ibu, adalah wanita terhebat dalam hidupku. Selama raga ini masih mampu, aku akan menjadi orang pertama yang membela ibu di saat semua orang memusuhimu, bu. Mereka tidak tahu apa-apa tentang Ibu. Mereka tidak tahu, ada derita di balik tubuh rentamu, bu. Ada pengorbanan di balik kantung mata hitammu bu. Berkorban demi aku anakmu dan juga keluargamu. Kau pernah mengeluh? Tidak, sama sekali. Suatu waktu, aku ingin mendegar keluhan itu dari bibirmu, karena kulihat kau tidak pernah beristirahat bu. Namun, selalu senyum yang kau suguhkan. Aku tidak tahu bu, bisakah aku menjadi sepertimu. Bisakah aku menjadi wanita sekuat dirimu, ibu?

***

Ibu, adalah nama yang selalu kubincangkan  dengan Tuhan dalam setiap do’a. Selalu terselip harapku. Suatu saat nanti orang-orang itu akan mengerti, bahwa wanita itu, ibuku. Ibuku yang tidak  pernah melakukan perbuatan bejat seperti yang mereka tuduhkan.

Wanita itu, ibuku. Wajah di balik jeruji besi yang selalu tersenyum saat aku datang menghampirinya. Memelukku hangat dan selalu memberi semangat padaku. Ibu, bukankah kau adalah orang yang butuh penyemangat saat ini?

 Aku tak kuasa bu, melihatmu seperti ini. Tuhan, gantikan penderitaan ibuku dengan kebahagiaan. Tuhan, gantikan pengorbanan ibuku dengan balasan yang terbaik di sisi-Mu.
Ibu, aku mencintaimu sepenuh hati.

DINA USWATUN HASANAH
Kunjugi blog Dina: dinauswatun.blogspot.co.id