Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen Persahabatan | Menanti Sahabatku di Surga

 “Menanti, Sahabatku dari Surga”

(Mita Herma Yulianti)

Matahari mulai tenggelam, dan langit pun terlihat senja. Di dalam kamar sepiku, aku mulai merenung, apakah Lina mau menjadi sahabatku? Kubiarkan waktu yang menjawabnya.

Namun entah mengapa, wajah Lina selalu ada di depanku. Dengan tidak sabar menunggu esok, aku pun tak bisa memejamkan mata ini. Bayangannya selalu menggangguku.

Aku bertemu dengannya saat pertama masuk sekolah di MTs. Dia orangnya baik. Cantik juga. Saat itu aku merasa malu untuk menyapanya. Dan entah mengapa ketika aku melihatnya, hati ini sangat bahagia. Apakah dia pantas jadi sahabatku, pikirku saat itu.

Hari demi hari berlalu. Hati ini pun merasa sedih karena tidak ada teman yang menemani. Aku selalu bermain sendiri. Maka saat itulah aku merasa bosan dengan kesendirianku.

Ketika pagi telah datang, aku bersiap-siap pergi ke sekolah dan ingin bertemu dengan Lina. Tapi mengapa aku masih malu menyapanya. Ketika itu Lina melihatku dan ia pun tersenyum. Dari situ aku pun mulai berani mendekatinya untuk berkenalan.

“Boleh kenalan gak?” pintaku.

Ia pun menjawabku dengan penuh keceriaan, “Boleh kok.”

Oh, betapa hati ini senangnya, “Kalau begitu nama kamu siapa?” tanyaku lagi.

“Namaku Lina.”

“Kamu anak mana?”

“Aku dari Surga.”

Toeng, (waw dari Surga?). Pasti maksudnya dari Suralaga, aku membatin.

“Kalau kamu, siapa?” Dia balik bertanya.

 “Namaku Mita.” Jawabku dengan hati berbunga.

Kami terus berbincang. Betapa senangnya hati ini. Aku tak sadar, jika lonceng masuk telah berbunyi.

Esok hari, ketika pagi mulai muncul, suara kokok ayam pun telah terdengar, di sana aku kembali bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Sesampai di sekolah aku langsung menghampiri Lina yang duduk sendirian. Di sanalah aku mengungkapkan semua isi hatiku.

“Lin, jujur, di saat pertama kali aku melihatmu aku merasa bahagia.” Dia tidak menjawabku, tapi bibirnya terlihat tersenyum.

Dengan perasaan yang tidak menentu, aku pun mulai bertanya, “Lina, apakah kamu mau jadi sahabatku?”

Ia pun menjawabku dengan senyuman tipis di bibirnya, “Boleh kok Mit.”

Dari sejak itulah kami mulai menjalin hubungan persahabatan.

Suatu hari, ketika kami bermain, tiba-tiba ada dua orang yang datang menghampiri. Mereka mengatakan, “Hai, kenapa berdua terus, boleh ikut nggak sama kalian?”

“Boleh, ayuk gabung aja!” Jawabku.

Sejak itulah, kami genap bersahabat empat orang. Dari sana aku mulai berpikir bahwa mereka adalah sahabat-sahabat terbaikku. Maka, mulai sejak itu pula, aku tidak lagi merasakan kesepian.

Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga bulan demi bulan berlalu. Hubungan persahabatanku selalu baik-baik saja. lalu ketika kami mulai naik kelas, kami tetap bersama-sama.

Di saat naik kelas, kami kedatangan teman baru. Dia pindahan dari sekolah lain. Semenjak itu, persahabatanku mulai sedikit demi sedikit berubah. Sikap sahabatku Lina mulai tidak karuan.

Siswa baru itu namanya Dina. Semenjak ia resmi menjadi siswa di tempatku sekolah, kulihat ia begitu cepatnya akrab dengan sahabat-sahabatku. Lalu di sana aku mulai berpikir, mungkinkah Lina dan yang lainnya akan meninggalkanku.

Benar dugaanku. Mereka semakin lengket bagai permen karet. Sementara aku mulai ditinggalkannya. Betapa hancurnya perasaanku.

Dalam kesunyianku, aku mulai termenung, inikah sahabat yang kudambakan dulu. Aku tak menyangka, mereka begitu cepat berubah sikap. Bukankah kami telah mengikat janji bersahabat untuk selamanya?

Belakangan aku mulai akrab dengan Dinda. Dialah pengganti teman-temanku yang empat itu. Tapi rupanya mereka sama saja. Di depanku mereka bersikap seperti malaikat, tapi di belakangku mereka seperti penjahat. Apakah itu yang dinamakan sabahat?

Lalu aku kembali berpikir, bukankah mereka cuma sahabat sementaraku di dunia ini? Dan suatu saat nanti aku pasti menemukan sahabat sejatiku. Sahabat sejati yang datangnya dari Surga yang sebenarnya. Namun, entah kapan.